Oleh:
Saharani
06
KOMI 1046
A. Pendahuluan
Hadis bila dilihat dari segi diterima atau tidaknya
ia menjadi hujjah dapat dibagi dua yaitu Hadis maqbl dan Hadis mardd.
Pembicaraan terhadap pembagian Hadis untuk masalah ini pun sebenarnya tidak
terlepas dari segi kajian mengenai Hadis, baik dari segi kualitas (kredibilitas
rawi) maupun kuantitas (jumlah rawi), namun dalam rangka untuk mensistematiskan
dan memfokuskan permasalahan Hadis maka perlu adanya pembagian tersebut.
Adapun Hadis-Hadis maqbl adalah Hadis-Hadis
yang diterima sebagai hujjah dikarenakan memenuhi persyaratan sebagai Hadis mutaw±tir
dan ¡a¥³¥, untuk mencapai tingkatan suatu Hadis menjadi Hadis ¡a¥³¥ perlu adanya penelitian lebih lanjut, maka
berbagai macam persoalan Hadis ¡a¥³¥
dalam rangka melihat Hadis dari sisi kualitasnya perlu dikaji dan
diteliti: pengertian dan kriteria Hadis ¡a¥³¥, tingkatan Hadis ¡a¥³¥ dan macam-macamnya, Hukum dan status
kehujjahan Hadis ¡a¥³¥ , kitab-kitab Hadis ¡a¥³¥ , perlu juga
dikaji Hadis ¥asan, pengertian dan kriteria Hadis ¥asan ,
macam-macam Hadis ¥asan , serta diakhiri dengan kesimpulan.
Adapun pada pengertian akan dikemukakan berbagai
pendapat ulama mengenai Hadis ¡a¥³¥ dan Hadis ¥asan yang selanjutnya akan dijelaskan tentang
masalah-masalah di atas dengan tidak pula meninggalkan masalah-masalah yang
perlu garis bawah.
B.
Hadis Maqbl
a. Hadis Mutaw±tir.
1. Pengertian Hadis Mutaw±tir.
Menurut bahasa, kata mutaw±tir berarti
berturut-turut.[1]
Sedangkan menurut istilah Hadis mutaw±tir berarti:
ما رواه جميع تحيل
العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من أول السند إلى منتهاه على أن لا يختل هذا
الجمع فى أى طبقة من طبقات السند
Hadis
yang diriwayatkan oleh banyak orang, mustahil secara adat mereka sepakat untuk
berdusta (yang diterimanya) dari sejumlah perawi yang sama dengan mereka, dari
awal sanad hingga akhir dengan syarat tidak rusak (kurang) jumlah perawinya
pada seluruh tingkatan.[2]
Dapat dikatakan bahwa Hadis mutaw±tir adalah
Hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw.
yang dapat ditangkap oleh panca indera. Perawinya terdiri dari jumlah yang
banyak, sekurang-kurangnya sepuluh orang, tapi ada juga yang berpendapat cukup
dengan empat orang.
Hadis mutaw±tir dapat dibagi kepada dua
macam, yakni: mutaw±tir laf§³ dan mutaw±tir ma’naw³.
Yang dimaksud dengan mutaw±tir laf§³ adalah hadis yang mutwatir
baik lafaz dan maknanya. Sedangkan mutaw±tir ma’naw³ adalah Hadis
yang mutawtir maknanya saja tidak lafaznya.
Status dan hukum Hadis mutaw±tir adalah qa¯’³
al-wurd yaitu pasti keberadaannya dan menghasilkan ilmu «arr³.
Orang yang menolak Hadis ini diklaim sebagai kafir. Seluruh Hadis mutaw±tir
adalah maqbl.
b. Hadis ¢a¥³¥
1. Pengertian Hadis ¡a¥³¥ dan kriterianya.
Seperti diketahui, Hadis bila ditinjau dari segi
kualitasnya terbagi kedalam tiga kategori: ¡a¥³¥, ¥asan, dan «a’³f
. Kata ¡a¥³¥ dari segi bahasa
adalah lawan dari sakit, sedangkan Hadis ¡a¥³¥ sendiri dari segi
terminologi bermacam-macam ulama mendefenisikannya diantaranya :
Defenisi Ibn ‘Alw³ al-M±liki al-¦asan :
هو الحديث الذى اتصل سنده بنقل
العادل الضابط عن مثله من غير شذوذ و لا علة قادحة فيجب أن تجتمع فيه أمور هى شروط
الحديث الصحيح
“Hadis yang bersambung sanadnya yang diperoleh dari perawi yang
adil, yang “±bi¯ , yang diterimanya dari
perawi yang sama (kualitasnya) tidak tergolong sy±dz dan tidak pula ber-I’lat lagi tercela maka
semua hal tersebut merupakan syarat-syarat Hadis ¢a¥³¥ .[3]
Sementara Ab ‘Amr ibn as-¢al±¥ mendefenisikannya
dengan : Hadis ¡a¥³¥ adalah musnad yang
sanadnya mutta¡il melalui periwayatan orang yang adil lagi dari orang yang adil lagi «±bi¯ (pula) sampai
ujungnya, tidak sy±dz dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).[4]
Fatchur Ra¥m±n lebih singkat lagi mendefenisikannya
dengan “Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak sy±dz .[5]
Dari beberapa defenisi hadis ¡a¥³¥ diatas
sepertinya secara esensial mempunyai maksud yang sama hanya saja pada defenisi
Hadis ¡a¥³¥ tersebut adalah sekaligus menjadi syarat (kriteria) Hadis ¡a¥³¥,
bila dilihat secara teliti dari defenisi tersebut ternyata ada lima kriteria
yang bisa diperpegangi untuk melihat sesuatu hadis itu apakah dapat dikatakan
hadis ¡a¥³¥ atau tidak dan kelima kriteria tersebut adalah :
a. Sanadnya
tidak terputus (mutta¡il ).
b. Perawinya
bersifat adil.
c. Sempurna
ingatan («±bi¯ )
d. Tidak
sy±dz (janggal)
e. Hadis
itu tidak ber’illat (cacat).
Adapun secara lebih rinci kriteria-kriteria yang di
utarakan ulama-ulama di atas adalah dapat diterangkan sebagai berikut :
- Sanad Hadis tersebut harus
bersambung. Maksudnya adalah bahwa setiap perawi menerima hadis secara
langsung dari perawi yang berada diatasnya, dari awal sanad sampai kepada
akhir sanad, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad saw sebagi sumber
hadis tersebut. Hadis-hadis yang tidak bersambung sanadnya, tidak dapat
disebut Hadis ¢a¥³¥ , yaitu seperti Hadis Munqa¯i’, Mu’«al, Mu’allaq,
Mudallas dan lainnya yang sanad-nya tidak bersambung.[6]
- Perawinya adalah adil.[7]
Setiap perawi Hadis tersebut harus bersifat adil. Yang dimaksud adil
disini adalah bahwa semua perawi harus Islam, baligh juga memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut : Senantiasa melakukan segala perintah
agama dan meninggalkan semua larangnannya, senantiasa menjauhi
perbuatan-perbuatan dosa keci; dan senantiasa memelihara ucapan dan
perbuatan yang dapat menodai muru’ah.[8]
- Perawinya adalah «±bi¯,
artinya perawi hadis tersebut memilki ketelitian dalam menerima hadis,
memahami apa yang didengar, serta mampu mengingat, dan menghafalnya sejak
ia menerima Hadis tersebut sampai pada ia meriwayatkannya. Atau ia mampu
memelihara hadits yang ada di dalam catatannya dari kekeliruan, atau dari
terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang dapat merubah
hadis tersebut. Ke«±bi¯an seorang perawi, dengan demikian, dapat
dibagi dua, yaitu : «±bi¯ ¡adr ( kekuatan ingatan atau hafalannya)
dan «±bi¯ kit±ban (kerapian dan ketelitian tulisan atau
catatannya)[9]
- Bahwa Hadis tersebut tidak
sy±dz, maksud sy±dz atau syudzdz (jamak dari sy±dz)
disini, adalah suatu Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang
diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat, ini pengertian yang
diperpegangii oleh Sy±fi’³ dan kebanyakan ulama lainnya. Melihat
pengertian tersebut dapat dipahami tidak sy±dz (ghairu sy±dz)
adalah Hadis yang matannya tidak bertentangan deengan Hadis lain yang
lebih kuat. Al-H±kim Naisabr³ memasukkan Hadis fard (Hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang £iqah, tetapi tidak ada
perawi lain yang meriwayatkannya), kedalam kelompok Hadis Sy±dz
pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli Hadis.[10]
- Kata ber’illat (ghairu
Mua’llal), kata ‘illat bentuk jamaknya adalah ‘illal
atau al’illal, menurut bahasa artinya cacat, penyakit, keburukan
dan kesalahan baca. Dengan pengertian hadis yang ber’illat adalah
hadis-hadis yang cacat atau penyakit. Maksud ‘illat disini adalah
berarti suatu sebab yang tersembunyi atau samara-samar. Maksudnya adalah
jika dilihat secara zahir Hadis tersebut kelihatan ¡a¥³¥, tetapi
sebenarnya hadis tersebut menyimpan kesamaran atau keragu-raguan.[11]
2. Tingkatan Hadis ¢a¥³¥ dan Macam-Macamnya.
Ulama berusaha keras mengkomparasi antar
perawi-perawi yang maqbl dan mengetahui sanad-sanad yang memuat derajat
diterima secara maksimal karena perawi-perawinya terdiri dari orang-orang
terkenal dengnan keilmuan, ke«abi¯an dan keadilannya dengan yang
lainnya. Mereka menilai baha sebagian sanad ¡a¥³¥ merupakan tingkat
tertinggi daripada sanad-sanad lainnya karena memenuhi sarat-syarat qabl
secara maksimal dan kesempurnaan para perawinya dalam hal kriteria-kriterianya.
Mereka kemudian menyebutnya a¡a¥¥ al-as±n³d.[12]
Sementara mengenai macam-macam Hadis ¡a¥³¥,
pada umumnya para ulama Hadis membaginya kepada dua macam, yaitu: Hadis ¡a¥³¥
li dz±tih dan Hadis ¡a¥³¥ li ghairih, dan pembagian Hadis ini
berdasarkan perbedaan dari segi hafalan atau ingatan perawinya. Pada Hadis ¡a¥³¥
lizatihi ingatan perawinya sempurna sementara pada Hadis ¡a¥³¥ li
ghairih kurang sempurna.
Adapun yang dimaksud dengan Hadis ¡a¥³¥Lizatihi
menurut al-¦asan adalah Hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi
kriteria ke¡a¥³¥annya sebagai Hadis yang maqbl, sebagaimana
dijelaskan diatas, dan tidak memerlukan Hadis yang lainnya.[13]
Sedangkan Hadis ¡a¥³¥ li ghairih adalah Hadis
yang tidak memenuhi sifat Hadis maqbl secara sempurna, yaitu Hadis yang
asalnya bukan Hadis ¡a¥³¥, akan tetapi derajatnya naik menjadi Hadis ¡a¥³¥
lantaran ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada
padanya.[14]
Sementara contoh Hadis ini adalah Hadis tentang bersiwak yang sanadnya Mu¥ammad
Ibnu Amrin dari Ab Salamah dari Ab Hurairah lalu diriwayatkan oleh Tirm³dz³,
tetapi Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukh±r³ dan Muslim, sementara sanad
Mu¥ammad Ibnu Amrin Ibnu al-Qomah adalah dikenal dengan sifat as-¡idqi
dan as-¡iy±nah tetapi kuang kuat hafalannya.[15]
3. Hukum dan Status Kehujjahan Hadis ¢a¥³¥.
[1] Ma¥md at-°a¥¥±n, Tais³r
Mu¡¯al±¥ al-¦ad³£ (Beirut :
D±r ¤aq±fah Isl±miyah, t.th.), h. 18
[2] Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kh±¯ib, U¡l
al-¦ad³£ (Beirut: D±r Fikr, 1981), h. 404.
[3] Mu¥ammad ‘Alw³ al-M±liki
al-¦asan³, al-Minh±l al-La¯³f f³ U¡l al-¦ad³£ Ta¥r³f (°aba’ bi Ta¡r³h
Wiz±rah al-A’l±m, 1410 H), hal. 58.
[4] Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kh±¯ib, U¡l
al-¦ad³£, h. 276.
[5] Fatchur Rahman, Ikhtishar
Mustholah Hadis (Bandung : PT al-Ma’arif, 1974), hal. 117.
[6] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis
(Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997), hal. 220.
[7] Ab al’Al± al-Mudd³, ¦ad³£ aw
al-Qur’±n (Taphimat : Tarjuman al-Qur’±n, 1934), hal. 318-349, lihat juga
pada Daniel W. Brown, Relevansi Islamdalam Sunnah Modern, judul asli :
Rethingking Tradition in Modern Islamic Thought, diterjemahkan oleh : Jaziar
Radianti dan Estin Sriyani Muslim (Bandung
: Mizan, 2000) h. 114.
[8] Munzier Suparta dan Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 1993) hal. 113.
[9] Yuslem, h. 221.
[10] Munzier Suparta dan Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 115.
[11] Ibid.
[12] Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kh±¯ib, U¡l
al-¦ad³£,, h. 227-278.
[13] Ibid.
[14] Mu¥ammad ‘Alw³ al-M±liki
al-¦asan³, al-Minh±l al-La¯³f, h.69, lihat juga pada Munzier Suparta dan
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 117.
[15] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
h. 226.
[16] Ab ‘Is± Mu¥ammad bin ‘Is±
at-Turmudz³, Sunan at-Turmdz³ Huwa al-J±mi’ as-¢a¥³¥ (Beirut, D±r
al-Fikr, 1400 H / 1980) h. 6.
0 komentar:
Posting Komentar